Jumat, 27 Mei 2011

Mencari Format Pemimpin Ideal

Pidato monumental Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ketika dilantik sebagai khalifah pertama diabadikan dalam ucapannya :
يأيهاالناس فإنى قد وليت عليكم ولست بخيركم فإن احسنت فأعينونى وإن أسـات فقومونى, الصدق أمنة والكذب خيانة
“Wahai segenap rakyatku, terpilihnya aku sebagai pemimpin kamu, bukan berarti aku yang paling baik di antara kamu, paling berjasa di antara kamu, paling bersih di antara kamu, paling suci diantara kamu, bukan !. tetapi bila aku berbuat baik untuk rakyat bantu aku dan apabila aku berbuat salah maka tegurlah aku, kebenaran itu adalah amanat dan kebohongan itu adalah khianat. Siapa saja yang merasa dirinya kuat di antara kamu maka dia lemah di hadapanku sehingga aku harus mengambil kekuatannya untuk memenuhi hak-hak rakyatku, dan siapa saja yang merasa dirinya lemah di antara kamu, maka dia kuat di hadapanku, sehingga aku harus menunaikan kewajibanku menghapuskan kelemahannya. Taatilah kalian kepadaku selagi aku mentaati Allah dan rasulNya, dan apabila aku tidak mentaati Allah dan rasulNya maka tidak ada kewajiban bagi kalian mentaatiku”.
Islam memandang persoalan kepemimpinan sebagai persoalan biasa untuk estafeta kekhalifahan/kepemimpinan di negeri ini, menjadi luar biasa ketika para ambisius berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin, para tim sukses pun tak segan-segan menyerang dan menelanjangi kelemahan lawan politiknya, bahkan ras, suku dan agamapun mungkin jadi dalil-dalil pembenar yang dipaksakan, na’udzubillah.
Seharusnya suksesi kepemimpinan tidak harus diluarbiasakan sedemikian rupa, kesan punya niat yang tidak tulus, riya, umbar janji, umbar prestasi, umbar prestise makin jelas diperlihatkan dan dipertontonkan.
Belum penulis temukan satu hadits pun yang menyatakan rasulullah berani memproklamirkan dirinya sebagai orang yang lebih baik, lebih bersih, lebih peduli, lebih berjasa, lebih cepat, lebih profesional. Yang penulis ketahui Rasulullah adalah yang paling takut dibenci dan dimurkai Allah, sehingga dia senantiasa meminta ampunan siang dan malam kepada Allah padahal dia adalah orang yang dima’shum (dipelihara dari segala dosa dan kesalahan).
Estafeta kepemimpinan merupakan sunnatullah yang mengajarkan kepada kita bahwa tiga orang yang berkumpul, salah satunya harus menjadi pimpinan, demikian halnya suatu bangsa dalam suatu teritorial maka harus menentukan siapa yang menjadi pemimpinnya.
Mekanisme memilih pemimpin diserahkan kepada manusia (antum a’lamu bi’umuri dun yakum : kalian lebih tahu persoalan – persoalan teknis duniawi. Begitu Rasulullah berpesan), ada yang melalui proses demokrasi (general election, pemilihan umum), monarchi (diwaritskan).
Pimpinan dipilih pada prinsip dasarnya untuk membawa rakyat negara tersebut agar senantiasa mengingat Allah sebagai sang pencipta, pengatur, pembimbing, pelindung, pengayom dan penghukum. Maka seorang pemimpin manusia untuk manusia (rakyat, people, citizen) hendaknya memiliki kafasitas ilahiyah. Artinya mampu dan mau melaksanakan apa yang menjadi perintah-perintah Allah dalam Alqur`an dan apa-apa yang menjadi laranganNya, maka secara mendasar konsep kepemimpinan harus mengacu pada kemampuan mengajak rakyatnya menjadi hamba-hamba Allah, baik dalam persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain. Karena Islam adalah totalitas; ajarannya meliputi segenap aspek kehidupan, baik pribadi, sosial, hukum, ekonomi, politik dan budaya (Gh. Jansen “Totalitas Islam”). Kebijakan-kebijakan peraturan yang dibuat sang pemimpin bukan menjadikan warganegara/rakyatnya justru semakin jauh dari Allah, baik peraturan yang menyangkut pendidikan, hukum, sosial kemasyarakatan juga politik.
Kesulitan rakyat menentukan harus siapa yang menjadi pemimpin mereka, maka Islam (melalui pesan Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Imam Ahmad) memberikan jalan petunjuk dengan beberapa pedoman di bawah ini :
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله, وإن كانوا فى القراءة سواء فأعلمهم بالسنة, وإن كانو فى السنة سواء فأقدمهم هجرة, وإن كانو فى الهجرة سواء فأقدمهم ســّنا 
“Kriteria pemimpin suatu kaum (rakyat, warganegara) adalah pertama dilihat siapa di antara para calon yang paling memahami kitabullah (hukum-hukum Allah), apabila mereka memiliki kemampuan yang sama, maka cari di antara para calon itu siapa yang paling memahami sunnahku (aplikatif terhadap nilai-nilai atau isi ajaran Islam melalui suri tauladan perilaku keseharian Rasulullah), apabila di antara mereka memiliki kefasitas dan kemampuan yang sama, maka lihat siapa di antara mereka yang melakukan hijrah pertama (perubahan perilaku dari yang buruk kepada yang baik, mereformasi diri dan keluarganya untuk mentaati hukum-hukum Allah), apabila pada para calon itu ditemukan kesamaan kafasitas dan kemampuan melakukan hijrah, maka cari di antara calon calon tersebut dari segi usia, siapa yang lebih tua usianya di antara ketiga calon tersebut.”
Pertama : perhatikan secara cermat di antara para calon mana di antara mereka yang bisa membaca kitabullah, dalam arti memahami hukum-hukum Allah, baik yang menyangkut hukum hubungan manusia dengan Allah, hukum hubungan manusia dengan manusia dan hukum hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Bila kapasitas dan kemampuannya sama lihat yang kedua.
Perhatikan secara cermat di antara para calon mana di antara mereka yang paling memahami dan mau mengikuti sunnaturrasulullah. Bila kapasitas dan kemampuannya sama lihat syarat yang ketiga.
Perhatikan secara cermat di antara para calon mana di antara mereka yang paling dahulu melakukan hijrah (mereformasi; perubahan perilaku diri dan keluarganya untuk mau melakukan syarat pertama dan kedua). Bila kapasitas dan kemampuannya sama lihat syarat yang keempat.
Perhatikan secara cermat di antara para calon mana di antara mereka yang paling tua dari segi usia; tidak hanya tua dalam arti biologis tetapi tua dalam pengamalan melaksanakan syarat memahami kitabullah (baik segi bacaannya maupun isi kandungan Alqur`an), tua dalam pengamalan melakukan nilai-nilai sunnaturrasulullah dan tua pengamalan dalam melakukan reformasi (hijrah).
Bila ditemukan pada calon – calon itu tidak memenuhi syarat syarat di atas, maka cari yang sedikit membawa madharat tetapi ada mashlahatnya bagi ummat.
Bila para calon inohong ini ternyata memiliki kafasitas dan kemampuan yang sama serta memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka ISTIKHARAH menjadi wajib bagi kita.
 
Sukabumi, 24 Nopember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar