Jumat, 27 Mei 2011

Ketika Aku Tak Bisa Lagi Sekolah

Cerita singkat ini hanya imajinasi nalarku yang berkelana ke tragedi gempa dan tsunami dan mencoba masuk dalam suasana asa ketakutan, kengerian yang tidak terperi, kesedihan, nelangsa saudara-saudaraku di sana. Tentu tulisan ini jauh dari musibah yang sebenarnya, sakit yang sebenarnya, nelangsa yang sebenarnya. Tapi aku mencoba berbagi perasaan. Mudah-mudahan Aceh bangkit dan jaya kembali sebagai sebuah serambi Mekkah, Penulis.

MINGGU PAGI yang cerah, angin berhembus perlahan, lembut dan dedaunan masih menyisakan embun sisa semalam, kehangatan matahari menembus ke bilik kamar bambuku, hangat dan membuat aku menggeliat bangun. Hari ini minggu, 26 Desember 2004 pukul 08.35, akh masih pagi, tokh sekolah libur, tokh orang-orang juga masih pada tidur, masih bermalas-malasan, akh, pagi ini apa acaraku ya, kumpul dengan teman, main ke pantai atau buka-buka buku pelajaran, wuah, malas aku. Tiba-tiba terasa goncangan yang cukup keras pada tempat dimana aku tinggal pada bale dimana aku sedang tiduran, gempa melanda, duh, besar amat ini gempa ko lama lagi, ya, ya masih terasa, aku segera keluar karena gubukku berderak-derak, ya tuhan aku takut, sungguh aku takut sekali, ko lututku menggigil tak bisa digerakkan.

Gempa itu cekup keras dan lama, mungkin selama kurang lebih 1 menit, semua orang lari berhamburan keluar rumah menyelamatkan diri, aku sendiri terkesima, darahku seperti berhenti seketika dan lututku seakan sulit untuk digerakkan, sekujur tubuhku menggigil, takut yang bukan alang kepalang, takut yang menimbulkan kebingungan, bingung yang menimbulkan kegelisahan dan kegelisahan yang menyiksa batin, ya batinku tersiksa sehingga tidak tahu harus berbuat apa, wuah pengalaman rohani yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya, untung ada tetanggaku yang segera menyadarkan aku untuk segera lari dan lari, ya, tapi lari kemana pak, gempa ini dimana-mana, ya, pokoknya lari nak. Di luar, di jalan-jalan, di lapangan terbuka orang-orang berkerumun saling pandang satu sama lain, mencari-cari; barangkali saudaranya masih ada, temannya masih ada, tetangganya masih ada. Wajah-wajah yang menampakkan kegelisahan, kebingungan, kecemasan dan nampak ini wajah-wajah yang penuh ketakutan, betapa tidak banyak rumah hancur, miring, dan terbelah. Puing-puing bangunan berserakan termasuk rumah bambuku rata dengan tanah.

Sebagian ada yang sadar dan pasrah dan dari mulutnya tak henti-hentinya keluar ucapan-ucapan takbir, tahlil, lalu mereka bergerak kembali ke rumahnya masing-masing, yang sebahagian besar sudah hancur, barangkali masih ada barang yang bisa diselamatkan. Gempa telah lewat, bencana telah usai, demikian pikiran yang dapat saya baca dari mata dan wajah mereka, aku sendiri masih diliputi kengerian yang amat sangat, takut kembali ke bilik kamarku yang kini rata dengan tanah, lemari baju dan bukuku nampak seperti dilempar sampai berantakan, isinya berhamburan tak karuan, oh, gimana ini, gimana ngeberesinnya, gimana? gimana, mau disimpan dimana baju seragam dan buku sekolahku, aku melihat tetanggaku-tetanggaku semuanya juga sibuk membereskan rumahnya tapi ada yang berdiri melongo melihat rumahnya rata dengan tanah. Aku merenung, ko aneh perasaanku setelah gempa sehebat itu aku memperhatikan orang-orang di sekitarku tak banyak bercakap-cakap, tak banyak mengomentari peristiwa hebat tadi, ko pada diam tapi tangannya sibuk membereskan, merapikan rumahnya, aku menerawang ke angkasa, burung-burung laut yang biasanya lewat tidak ada, lho awan seperti enggan menutupi matahari yang mulai terasa sengatannya, biasanya perasaanku enggak begini, aneh aku jadi ingat kedua orangtuaku yang sudah tidak ada; aku terkesiap seakan-akan wajah ibuku muncul di hadapanku, waduh, pikiran apa ini, aku jadi sedih, sedih dan nelangsa, tapi aku sendiri bingung. Tak bisa dibendung perasaan rindu itu terus mengusik batin, ibuku lagi apa yang di surga, ayahku lagi apa? Yakh, aku jadi ingat peristiwa tenggelamnya kapal kami di pantai Lhok Nga, ibu dan ayahku terseret ombak dan tenggelam ...... Tiba-tiba di tengah lamunan aku dikagetkan suara orang-orang berhamburan, berlarian sekencang-kencangnya; aku terkesiap, teriakan orang samar-samar kudengar .... Airrr aiiirrr air laut pasang dan teriakan itu semakin jelas dari orang-orang pantai yang menuju kearahku, ya tuhan, ada apalagi? Aku melihat sepintas ada orang yang membawa anak-anaknya di tangan kanan dan kiri, dan nampak bagiku kedua anak kecil itu bukan dibawa tapi diseret, lho, ada apa ini ????, Tiba-tiba di hadapanku seorang ibu lari kesana kemari sambil menggendong sesuatu; “diam nak, cup cup jangan nangis, diam ya, diam sayang cup, cup” tapi aku tidak melihat seorang bayi pun di gendongannya, itu kan cuma guling, ya itu hanya guling, .... Bu! Bu!Bu! Tapi si ibu itupun lari tunggang langgang mengikuti gelombang manusia yang lari, ada apa ini? Kiamatkah? Aku menerawang jauh ke lepas pantai tapi tidak bisa karena terhalang tembok bangunan yang sebagian masih utuh dan pepohonan yang masih berdiri kokoh, dan tiba-tiba suara gemuruh panjang bagai pesawat terbang memekakkan telingku dan seketika hentakan benda keras namun dingin menerpa tubuhku, glek glek air, ini air...... ya ini air laut, ya nafasku tersekat ketika rasa asin melumat lidahku, dan air ini arusnya deras sekali menggulung dan terus menggulung tubuhku dan menghisap benda apa saja yang digilas air ini termasuk tubuhku yang mengap-mengap mencari benda-benda yang bisa kuraih dan tiba-tiba sebuah benda keras menghantam kepalaku, dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Dan tentu saja aku tidak bisa melanjutkan kisah ini.

Desember 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar